Rabu, 02 Juni 2010

mau dibawa ke mana (palestina)?

jangan sampai bergeser isuenya menjadi sesederhana itu...isue utamanya adalah masalah Palestina itu sendiri... serangan Israel atas MAVI MARMARA adalah efek dari inti masalah... jangan sampai kita lupa atau bergeser bukan pada pokok masalah...
masalahnya adalah pemerintah kita masih belum sepakat tentang apa yang terjadi di Palestina... belum ada definisi masalah yang kita sepakati...pidato SBY tadi tidak juga menegaskan apa sebenarnya masalah Palestina dan apa sikap kita terhadap masalah tersebut... SBY menyinggung tentang masalah perdamaian... perdamaian versi siapa?... versi Israel... versi Palestina... versi AS dkk... ato versi kita sendiri... SBY mengatakan bahwa RI mendukung kemerdekaan Palestina... kemerdekaan versi siapa? versi PLO... versi Fatah... Versi Liqud... versi Hamas... versi PBB atau versi yang mana lagi? SBY menyinggung masalah pembangunan pemukiman... apa g telat? (lebih baik terlambat drpd tidak sama sekali ; slogan yg aneh?)harusnya itu dikatakan pada tahun 1948 ketika pertama kali israel mendeklarasikan negara Israel Raya (hadiah Balfour declaration)kl itu diucapkan hari ini... kok kayaknya aneh dan g relevan lagi.(meski israel memang masih terus membangun pemukiman baru di wilayah otoritas Palestina) Tapi lagi-lagi itu cuma sebuah bukti bahwa kemerdekaan adalah hal yang paling langka bagi rakyat Palestina... harusnya pemerintah RI sudah harus bisa mendefinisikan masalahnya... sebenarnya ada apa sih di sana? masalah penjajahan? ato konflik antara dua negara yang berdaulat? ato sekedar perebutan tanah? atau soal HAM? atau malah sekedar soal MAVI MARMARA? bahkan yang lebih lucu lagi (bacanya ANEH bukan lucu)TVONE mendebatkan tentang perlunya hubungan diplomatik RI dgn israel... masih relevan g sih? tergantung dari sudut mana kita melihat dan mempersepsikan... tapi lagi-lagi... semua terjadi karena kita g tau dan belum yakin tentang masalah sesungguhnya yang terjadi di Palestina... atau bagaimana sebenarnya persepsi kita (bangsa RI) tentang masalah Palestina... coba kita buka buku sejarah!!

Sabtu, 29 Mei 2010

independence day

28 Mei 1945 Dokuritsu Junbi Cosakai didirikan sebagai Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dibentuk oleh pemerintah Jepang untuk menyenangkan hati bangsa Indonesia akan cita-cita kemerdekaan. Seolah-olah kemerdekaan adalah suatu hadiaf. Gifts. Bukan usaha atau kerja keras bangsa kita. Efforts. Tidak sunnatulloh. Innalloha laayughoyyiruma bi qoumin hatta yughoyyiruma bi anfusihim. Alloh Yang Maha Kuasa tidak akan mengubah kondisi suatu kaum hingga kaum tersebut mau bergerak sendiri untuk mengubah kondisi dirinya. Mudah2an founding fathers juga tidak berpikiran untuk menunggu hadiah dari Jepang tersebut sebagai pemberian semata. Bahwa BPUPKI adalah kerja keras bangsa ini dan sebagai bagian dari proses membangun negeri dan bangsa. Bahwa kemudian BPUPKI berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau yang kita kenal dengan Dokuritsu Junbi Iinkai, adalah bukti bahwa kita menginginkan kemerdekaan yang independen dan tidak tergantung bangsa penjajah. PPKI diyakini lebih independen karena tak satupun orang Jepang ada di sana (tidak juga seorang Ichibangase) meskipun 'golongan tua' hampir terkecoh dengan janji kemerdekaan di Dalath tetapi ada 'golongan muda' yang awas. Itulah hakikat "tidak ada yang sempurna di muka bumi". Golongan tua dengan segudang pengalamannya sementara golongan muda dengan sejuta keberaniannya.
Kemudian kita bisa merasakan bahwa kemerdekaan bangsa ini memang hasil dari kerja keras bangsa ini dan 17 Agustus 1945 menjadi entry point-nya. Kita menyaksikan bangsa yang telah lama dibentuk dengan perjuangan dan kegigihan memasuki lembar baru kehidupan dengan pengakuan bangsa lain bahwa kita tidak berada di bawah siapa2.
Pada hari ini kita melihat ternyata bangsa ini masih belum merdeka untuk menyatakan sikapnya di dunia internasional. Bahkan untuk menyatakan bahwa kita mendukung kemerdekaan saudara-saudara kita di Palestina. Kita masih berbeda pendapat dan pandangan. Belum ada kesamaan persepsi tentang kondisi saudara kita di Palestina. Masih segar dalam ingatan betapa kita butuh bantuan internasional ketika Belanda dan sekutu ingin kembali menjajah negeri ini. Menjadikan negeri ini sebagai bagian dari Pax Netherland. Agresi Militer demi Agresi Militer dilancarkan dan betapa kita begitu sendirian sampai saudara2 kita (Mesir, India dan Australia ; terlepas apa latar belakang dan kepentingan mereka) ikut memperjuangkan nasib bangsa ini (ingat Resolusi New Delhi). Kita masih ingat dan akan selalu ingat bahwa perjuangan membutuhkan teman. Dan teman yang baik adalah teman yang menjadikan perjuangan kita sebagai bagian dari perjuangannya sendiri.
Pada hari ini perjuangan Palestina adalah perjuangan bangsa kita sendiri. Perjuangan bangsa Palestina adalah perjuangan bangsa Indonesia. Juga masih segar dalam ingatan, ketika 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan lima sila untuk kita. Internasionalisme atau kemudian diterjemahkan menjadi Kemanusiaan yang adil dan beradab. Perjuangan bangsa Palestina adalah perjuangan kemanusiaan. Kemanusiaan yang diinjak-injak di depan mata kita. Dan kita hanya bisa menonton sambil mengelus dada untuk kemudia lupa bahwa kita pernah merasakan hal yang sama. Sepertinya bahkan belum cukup lama untuk negeri ini. Bahkan masih jelas dalam pembukaan konstitusi kita (karena belum direvisi?).

pendidikan anak-anak kita

pendidikan identik dengan sekolah... mengapa?
apakah karena sekolah adalah institusi pendidikan?
bagaimana dengan 'ummu madrosatun"? ibu adalah sekolah
kita sering lupa bahwa pendidikan primer adalah tugas keluarga (orang tua?)
kullu mauludin yuuladu alal fithroh... faabawaihi yunashironihi au yuhawidanihi au yumajisanihi
setiap yg lahir pasti suci... orang tuanyalah yang menjadikan mereka mau menjadi apa
sekolah adalah secondari education... harusnya seperti itu?
tetapi kenapa ironi hari ini? banyak orang tua yang gamang ketika harus menyekolahkan anak-anaknya... khawatir tidak mendapatkan pendidikan yang terbaik? harusnya mereka khawatir dan berpikir... kenapa bukan mereka yang menjadi pendidik bagi anak-anaknya
ketidakmampuan karena keterbatasan waktu? apologi yang membosankan